Fiksi Fragmen #1

by catatanmimpisaya

“Kau tahu,” tiba-tiba dia bicara dari balik buku yang sedang dibacanya, ”saya rasa ini bukan kebetulan.”

“Eh? Apanya yang bukan kebetulan?”

Dia meletakkan bukunya, mengambilnya lagi untuk memeriksa halaman, meletakkannya lagi, lalu menatapku, “Semuanya.”

Aku balas menatapnya bingung. Dari sinar matanya kelihatan dia senang melihatku kebingungan.

“Semuanya. Ya, semuanya. Misalnya, kenapa saya baru mengenalmu sekarang bukan dari setahun atau dua tahun lalu, kenapa kita dibesarkan di kota yang berbeda, kenapa tahun ini saya mulai tertarik membaca karya-karya sastra, kenapa kamu baru mulai belajar fotografi di awal tahun ini, dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya.”

“Hmm? Lalu kenapa?”

“Yaa, saya cuma tidak bisa membayangkan saja. Seandainya kita bertemu setahun atau dua tahun lebih cepat, mungkin kita tidak akan pernah duduk berdua di tempat ini sambil minum kopi,” dia mengangguk halus ke arah cangkir kopi di ujung jemariku.

”Seakan-akan ada yang berkata, ‘Hei, belum waktunya kamu bertemu dia, karena kamu yang sekarang masih belum siap untuk itu,’” katanya sambil memberat-beratkan suara seperti raksasa, “Wah, kalau saja kamu tahu bagaimana diri saya yang dulu… jangankan kamu, saya sendiri mungkin tidak mau dekat-dekat dengan saya.”

“Apa-apaan itu?” aku tertawa kecil, “Hmm, iya juga ya. Kalau saja aku tidak mulai belajar fotografi di awal tahun ini, mungkin hari itu aku tidak akan terjebak hujan saat sedang berburu foto, dan aku tidak akan berteduh di kafe ini juga.”

“Dan seandainya sejak awal tahun ini saya tidak membiasakan diri membaca buku baru setiap bulan, saya tidak akan mengenali buku yang waktu itu kamu baca waktu menunggu pesananmu datang, yang akibatnya saya tidak akan ambil peduli dengan kamu yang ada di depan saya waktu itu.”

“Hah, apa-apaan itu? Jahat sekali kamu!” kami berdua tertawa. Dia mengambil cangkirnya lalu menyeruput kopi, tapi dia tidak sengaja tertawa lagi, lalu tersedak sampai-sampai kopinya keluar dari hidung.

“Huh, kamu tuh habis bicara kata-kata sok keren, malah tersedak begini,” aku tidak bisa menahan tawaku, “Ini, pakai tissue ini.”

“Hrrahh, maaf, maaf!” terbatuk-batuk sedikit, dia melanjutkan, “Lihat, benar kan? Sepertinya ada alasan kenapa kita baru dipertemukan saat ini. Saya berani bertaruh, pasti ini bukan kebetulan!”

“Jadi kalau bukan kebetulan apa? Kesengajaan?”

Dia berpikir sejenak. Bola matanya melirik sesuatu yang tidak kelihatan di ujung langit-langit, kebiasaan yang selalu muncul ketika dia berpikir.

“Hmm, mungkin ini,” bola matanya ganti menatapku, ada binaran disana, dia tersenyum, “setengah kebetulan, setengah kesengajaan.”

(Selesai –mungkin)
Jakarta, 11 Januari 2011
Andreas Cornelius Marbun